Rabu, 23 Februari 2011

Pahlawan Tak Harus Berdarah - Darah...

Bangsa ini kehilangan kebanggan terhadap dirinya sendiri. Kehilangan suatu perkara yang penting bagi kemajuan suatu bangsa. Yang mana sejarah membuktikan, hanya bangsa yang bangga terhadap dirinya-lah yang kemudian maju memimpin dunia.

Bangsa Jepang begitu bangga menjadi keturunan Amaterasu (Dewa Matahari) dan merasa mampu menerangi dunia. Bangsa Amerika begitu bangga dengan sistem politik dan demokrasinya. Begitu juga dengan bangsa-bangsa di Eropa, bangga akan apa yang mereka miliki.
Terlepas dari sisi baik dan buruk yang diakibatkan, tapi fakta sejarah membuktikan, kebanggaan itulah yang menjadi kekuatan dan energi super bagi bangsa-bangsa itu. Optimisme lahir dari rasa bangga.
Tak ada yang baru sebenarnya yang terjadi di negeri ini. Korupsi, kekerasan, hukum yang berpihak dan tak berkeadilan, kemiskinan, dan penguasa yang tidak amanah, semua telah terjadi puluhan tahun, bahkan sampai hari ini. Perbedaannya adalah, saat ini semua bisa secara gamblang terpapar didepan mata kita melalui media. Dan kita dijejali setiap hari dengan kondisi menyedihkan ini.
Menyadari begitu bobroknya bangsa sendiri, begitu jauhnya harapan dari kenyataan. Kita menjadi pesimis, kalau tidak bisa dibilang putus asa untuk melihat bangsa ini bisa maju. Muaranya, kita kehilangan kebanggan terhadap bangsa sendiri.

Setiap kali berbicara politik, kita menjadi saling bermusuhan, seolah kebenaran hanya menjadi milik kelompok masing-masing. Ketika melihat penegakan hukum, ternyata uang yang mengendalikan. Televisi dipenuhi program-program pembodohan. Kita dikalahkan oleh bangsa sendiri.
Banyak prestasi sebenarnya yang dimiliki anak-anak bangsa. Anak Indonesia selalu merajai Olimpiade sains, mahasiswa Indonesia banyak memenangi perlombaan-perlombaan tekhnologi, dan ratusan prestasi serta pencapaian lainnya yang seharusnya bisa membuat kita memiliki kebanggaan sebagai bangsa. Mereka adalah anak-anak, pemuda, yang akan mewarisi negeri ini. Seharusnya kita optimis dan yakin, perbaikan di negeri ini akan datang. Tapi media, terutama televisi hanya punya minat dan waktu tayang yang sangat sedikit untuk hal ini. Berita politik yang carut marut lebih menjual. Pertarungan politik dan pertarungan dalam arti sebenarnya, membuat kita semakin yakin, kita kehilangan kesatuan dalam suatu ikatan negara.

Dalam pesimisme massal yang hampir akut, tiba-tiba seluruh rakyat Indonesia seperti disembuhkan dari Amnesia. Diingatkan kembali dengan kebesaran diri dan harapan bersama yang akhir-akhir ini terlupakan. Secara bersama-sama tanpa sekat politik dan agama, dan dipenuhi rasa optimis dan kebanggaan yang juga hampir tak dikenal, bangsa Indonesia kembali menemukan rasa kesatuannya, kembali mendapati harapan-harapan kolektif yang telah lama tak dimiliki, karena cita-cita bersama sebagai bangsa selalu berhasil diboncengi oleh kepentingan kelompok tertentu.
Tiba-tiba kita bersatu, tiba-tiba rakyat tidak menjadi pembenci, tiba-tiba politisi sedikit kalah panggungnya dari sorot kamera, tiba-tiba media sedikit lebih baik kepada pemerintah dan rakyat. Dalam waktu beberapa hari saja ternyata kita mampu membangun kebanggaan dan sikap optimis lagi sebagai bangsa.

Ternyata setelah 65 tahun merdeka, kita masih butuh Pahlawan. Pahlawan yang membuat bangsa Indonesia kembali bersatu. Bangsa ini sudah lama kehilangan teladan yang menginspirasi.
Pahlawan itu adalah Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Sekumpulan pemuda berseragam merah putih. Barisan anak bangsa bermandi keringat. Merekalah pupuk bagi optimisme yang hampir mati, tali pengikat untuk kelompok-kelompok yang tercerai-berai. Mereka benar-benar pahlawan. Kita bersama-sama mencintai mereka.


Dan hebatnya lagi, bangsa kita juga bisa mencintai orang asing, seolah dia adalah bagian dari kita. Setelah kita marah terhadap bangsa Malaysia, iri terhadap negara Singapura, sebagian juga membenci Amerika. Sekarang kita juga bisa mencintai warga negara lain.
Kita secara sadar mencintai dan berterima kasih sekaligus menaruh harapan yang besar pada pundaknya, kepada seorang Alfred Riedl.




Senang mendapati kondisi seperti ini.
Ternyata tak perlu saling bertengkar dulu untuk bersatu. Tak perlu menghabiskan triliunan rupiah untuk membangun optimisme. Hanya butuh pemikiran positif, sikap positif, dan asupan lebih banyak informasi positif, untuk membangun lagi harapan dan melakukan perbaikan.
Berharap keadaan ini tidak hanya euoforia, tapi semangat ini menular ke panggung politik, kedalam pemikiran awak media, seluruh rakyat Indonesia dan terutama Anak-anak indonesia.

Tidak ada komentar: