Kamis, 03 Februari 2011

Kami Seniman Sejati SMA 1 Pagaralam...


Bercerita tentang masa SMA, selalu menyenangkan....
karena, seingatku setelah tamat SMA, kenyataan hidup membuat hari-hari tidak selalu menggembirakan..(ini curhat namanya teman..!)

Kelas 3, adalah saatnya menikmati menjadi senior paling berkuasa. Kekuasaan itu menyenangkan, dan memanfaatkannya dengan baik adalah tugas wajib si penguasa. Untuk kepentingan pribadi, atau kebaikan bersama, si penguasa yang menentukan prioritas.

Kekuasaan itu manis bagi yang tidak amanah

Tapi percayalah, aku menggunakan kekuasaanku sebagai senior dengan amanah. Karena memang kekuasaannya semu. Kalaupun kekuasaan yang kupegang berikut dengan wewenang mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), tentunya akan lain ceritanya.
Mungkin aku akan berpikir untuk korupsi.
( SMA dimasaku dan di kota kelahiranku ini, kami tidak dikenalkan tentang idealisme pemimpin yang baik. Dan ukuran kami tentang sukses pun adalah Tentara, Polisi dan Pegawai Negeri. Kami tidak tahu banyak ada profesi lain yang bisa dikategorikan sukses, diluar ketiga profesi itu).

Minggu pertama di kelas 3, kegiatan belajar belum dimulai.
Kami disibukkan dengan kebersihan, pembagian kelas dan berebut bangku dan meja(bagian ini seru, mencari meja yg paling mulus dan sedikit corat-coretnya).

Masih pagi, sekitar jam 10. Pengeras suara sekolah mengumumkan bahwa seorang guru kami meninggal dunia. Alm. Ibu Dharma, beliau mengajar pelajaran Seni.
Kami diperbolehkan pulang lebih cepat.

Saat hendak bersiap mau pulang, Iwan, sahabatku, siswa paling dikenal di sekolah, datang ke kelasku.
"frank, kita mesti nyiapin buat lomba Vocal Group, lombanya besok". mukanya serius dan semangat
Iwan memang manusia serba bisa dan serba guna. Itu yang membuat dia terkenal.
"Besok?"
"Iya, sebelum Bu Dharma dirawat ke Palembang, suratnya datang dan beliau belum sempat kasih tahu Pengurus OSIS".

Kepengurusan OSIS belum dialihkan ke kelas 2, karena belum dipilih Ketua OSIS baru.

Kelas 3 dan masih pengurus OSIS, kami benar-benar penguasa. Sayang sekali, kami tidak punya wewenang anggaran. Jadi menyelewengkan dana APBS tak memungkinkan, sehingga menutup peluang kami untuk "meneladani" pemimpin masa itu. Masa sekarang juga, teman.

Kembali ke Lomba Vocal Group.
Tahun 90-an, lomba Vocal Group antar SMA adalah lomba bergengsi di kotaku ini. Tidak banyak lomba antar pelajar disini.
Seingatku, masa-masa itu, tidak pernah SMA di Pagaralam mengikuti lomba keluar daerah. Sebagai Kota Administratif, kesempatan untuk berkompetisi diluar daerah, tingkat Provinsi sebutlah, tidak menjadi bagian dari takdir yang dikenal pelajar di kota ini. Pejabat di kabupaten akan memprioritaskan anak-anak mereka untuk maju berkompetisi.
Jadi, kalaupun kami berprestasi, kami jago dikandang sendiri. Dan itu sudah cukup.

Tradisi di sekolahku, siswa kelas 1 yang dipersiapkan untuk Lomba Vocal Group.
Persiapan vokal yang matang dan pakaian yang menarik, membuat sekolah kami jadi langganan juara.

Tapi kali ini kondisinya sangat berbeda. Kami cuma punya waktu satu hari untuk lomba itu.
Bisa apa kami dalam satu hari?
Tapi, Iwan adalah teman serba bisa dan serba guna.
Dia sudah memanggil beberapa teman. Dia sudah menyiapkan strategi untuk kondisi ini.
Menjadi teman Iwan membuat aku kaya pengalaman. Nanti akan aku ceritakan indahnya bersahabat dengan dia.

"Tim kita tahun ini, saya pilih dari kelas 1, 2 dan 3 yang emang udah bisa "nyanyi", jadi gak usah pake latihan vokal lagi". Cukup masuk akal alasannya.

Formasinya 10 orang, 5 pasang. Termasuk aku dan Iwan. Suaraku memang tidak bagus teman, tapi sekali lagi, menjadi teman Iwan membuat aku kaya pengalaman.

Lagu wajibnya, Tuhan, ciptaan Bimbo. Lagu pilihan kami pilih Kebyar-kebyar-nya Gombloh.

Latihan hanya beberapa jam saja. Ada dua orang penyanyi gereja dalam group kami, cukup memberi nuansa.
Waktu sudah sore, anak gadis harus segera pulang. Tapi kami belum membicarakan kostum.
Pakaian penting untuk menunjang percaya diri.
Terkadang hal-hal artifisial jadi lebih penting buat sebagian orang.
Beberapa opsi dibicarakan. Tapi tidak mencapai kesepakatan.
Susah cari pinjamannya. Ya, kami harus meminjam pakaian yang akan kami pakai.
Sampai akhirnya, diputuskan, cukup memakai seragam sekolah saja. Seragam putih abu-abu.

Pagi ini, sebelum kompetisi dimulai, kami berkumpul. Tapi mood untuk latihan tidak ada.
Ada perasaan tidak yakin. Ragu.
Tapi semua menampakkan muka tanpa beban. Usaha yang minimal, mungkin itu yang membuat kami tanpa beban. Nothing to lose..

Gedung Kesenian. Kami, putih abu-abu. Bergabung dengan putih abu-abu lainnya, tapi hari ini mereka tidak memakai putih abu-abu.

Saatnya beraksi. Kami peserta kedua.

Gitar dan harmonika. Suswanto memainkan keduanya, sendiri .
Mulailah kami bernyanyi, persis seperti latihan 2 jam kemarin.
Penonton bersorak. Tapi penonton yang bersorak itu adalah teman-teman kami sendiri.

Verse 1 dan 2 serta satu kali chorus...kami aman, aku melihat penonton menikmati. Lebih tepat, terkesima. aku juga menikmati penampilan ini.
Menjadi pusat perhatian, diatas panggung, dan berkelompok.
Aku tidak pernah cukup percaya diri untuk menyanyi sendirian di panggung. Suaraku tidak cukup pantas untuk tampil sendiri. Aku serius dan jujur tentang ini teman.

Setelah chorus, Suswanto menunjukkan kemahirannya bermain gitar dan harmonika.
Latihan kemarin tidak ada bagian itu. Suswanto berimprovisasi.
Kami bergerak ke kiri dan ke kanan. Gerakan standard untuk yang tak bisa bergoyang. Kami penyanyi vocal Group, bukan biduan orkes melayu teman. Jadi kami tak pandai bergoyang.

Improvisasi Suswanto berlebihan. Kami tidak tahu harus mulai bernyanyi lagi dari mana.

Iwan, dia bergerak mendekati mic. Tiba-tiba dia membaca puisi.
Puisi yang baru saja dia karang beberapa detik lalu. Membaca puisi juga tidak ada di latihan kemarin.
Iwan juga berimprovisasi.

Entah siapa yang memulai, kami mengiringi puisi Iwan dengan Humming. Seirama.
Teman, kami juga berimprovisasi.
Kami seniman sejati. Jago berimprovisasi.

Penonton semakin hening. Aku menangkapnya sebagai kekaguman.
Akhir puisi Iwan, seperti menjadi kode untuk kami memulai bait baru dari lagu ini.

Lagu pertama selesai.

Kebyar-kebyar mulai kami nyanyikan.
Kami seniman sejati. Kami jago Berimprovisasi.

Lagu kedua pun kami penuhi berbagai improvisasi. Sampai selesai.

Kami turun dari panggung. Penonton bersorak makin ramai. Peserta lain pun bertepuk tangan. Ini pertanda baik. Penonton menyukainya.

Tugas kami membawa nama sekolah selesai. Tugas mulia. Bukan tugas berimprovisasi.
Teman, mengemban tugas mulia itu membanggakan. Itulah mengapa banyak orang berebut untuk mengemban tugas mulia, menjadi wakil rakyat.
Tugas itu mulia. Seperti kami, pengemban tugas mulia itu, para wakil rakyat, juga berimprovisasi. Mereka menggunakan kekuasaan dan kesempatan sebagai instrumen improvisasi.
Mereka bukan seniman teman. Mereka pengumpul kekayaan.

Selesai tampil, kami langsung kembali ke sekolah. Kami tidak menyaksikan penampilan peserta lain. Kami seniman egois.

Bubar sekolah, kami kembali lagi ke gedung kesenian. Gedung itu diseberang sekolah kami.
Rupanya pengumuman pemenang akan segera diumumkan.

Juara ketiga, SMA Muhammadiyah.
Juara kedua, SMA 2 Pagaralam.

"Dan juara satu tahun ini adalah?"
"SMA 1..SMA 1" kami meneriakkan sekolah kami sendiri
"Ya, SMA 1 Pagaralam.

Teman, kami menjuarai kompetisi ini.
Kami juara kandang. Kami nomor satu diantara tujuh peserta.
Bukankah itu hebat, teman?

Kemenangan itu untuk Bu Dharma.
Tahun itu beliau tidak lagi mendampingi kami.

Berlatih seadanya, dan berimprovisasi bak seniman sejati. Kami membuktikannya. Kami menang.
Jangan dicoba teman, kalau kau bukan seniman sejati seperti kami.

Kami ini seniman sejati..Kami jago kandang.

Yang aku dengar, itu tahun terakhir diadakan lomba Vocal Group antar SMA. Tak ada lagi lomba itu.
Mungkin sekarang pelajar disini telah menjadi Pelajar Sejati.
Itu lebih baik teman. Kalian tak harus jadi seniman sejati. Cukuplah kami.

Sekarang, pelajar kotaku ini, berkompetisi di tingkat provinsi. Banyak kompetisi dan kesempatan yang bisa diikuti.

Sekarang, mereka tahu tentang banyak profesi.
Sekarang, mereka bisa membedakan pemimpin yang amanah dan tidak. Beberapa dari mereka.

1 komentar:

jhoni rahendra mengatakan...

Terima kasih sobat!! sampaikan trima kshku untuk teman2 seperjuangan kala itu yg sdh mengharumkan nama sma kita, utk iwan i miss u frend... ghindu nian ceh!!! tegalau ghindu!!